Rabu, 19 Februari 2014

Jangan Bercerai Bunda...

Berikut ini artikel tentang Jangan Bercerai Bunda..., selamat membaca

Jangan Bercerai Bunda...


Sebuah Pengantar Asma Nadia

 

Terjadi adu argumentasi di rumah, ketika judul ini saya lemparkan.

Pak Isa Alamsyah (ayah anak-anak, selain juga trainer dan pengarang buku motivasi No Excuse!) mengomentari betapa judul ini terkesan tidak adil bagi para perempuan.

“Di banyak perceraian, justru perempuan kan yang menjadi korban?” cetusnya.

Saya tahu, tanpa mengadakan survey resmi bahwa apa yang disampaikannya benar. Kenapa harus perempuan yang dilarang-larang mengajukan cerai, jika perempuan sering kali menjadi korban digugat cerai?

Bukan… bukan maksud saya menyalahkan perempuan.

 

Kalimat judul tersebut bukanlah merupakan bisikan saya kepada sesama istri di tanah air. Lewat kalimat ini saya juga ingin mendalami hati anak-anak ketika orang tua mereka berpisah. Anak-anak yang terluka, meski ada juga sebagian kecil ananda yang justru merasa lega dengan perceraian orang tuanya. Dari pada setiap hari ribut… misalnya. Tetapi ini bukan sikap ananda pada umumnya ketika orang tua mereka berpisah, tidak lagi tinggal di satu tempat, dan banyak perubahan akan terjadi, jika per­ceraian tidak terelakkan.

 

Jangan bercerai, Bunda… adalah suara hati, harapan sebagian besar anak saat melihat rumah yang menjadi atap bagi keluarga mereka, guncang. Kenapa pula ungkapan ini menempel pada kata ‘Bunda’ dan bukan ‘Ayah’ dalam senti­mentil saya, sebab anak-anak umumnya lebih nempel pada sosok Bunda. Lebih dekat, lebih bisa secara terbuka menyu-arakan perasaan mereka. 

Lalu kenapa saya merasa perlu mengumpulkan kisah-kisah nyata dengan tema perceraian ini?

Ada beberapa alasan.

 

Pertama, semakin maraknya fenomena ketuk palu sidang yang resmi memisahkan suami istri. Keputusan cerai terkesan semakin mudah (meski saya yakin sebenarnya tidak ada istilah ‘mudah’ untuk hal ini), perceraian seperti menjadi opsi, ancang-ancang… jika pernikahan tidak berjalan seperti yang diharapkan.

Salahkah?

Tentu saja saya tidak bisa menghakimi.

Sebagai penulis, saya hanya berharap bahwa ada kerja keras, dari kedua belah pihak, ada kesabaran, ada upaya memperjuangkan habis-habisan bagi istri dan suami, kon­sultasi baik ke bimbingan konseling atau pemimpin agama, untuk memperbaiki tujuan dan kondisi pernikahan. Juga memper­banyak ibadah agar dua hati yang dulu pernah men­cintai, atau setidaknya saling menerima untuk bersama-sama hingga ke­matian memisahkan, sama-sama bersandar kepada-Nya saja.

 

Perceraian seharusnya tidak serta merta dijadikan opsi, jalan keluar jika pernikahan tidak berjalan, jika cinta kehilangan pesona, jika pasangan kehilangan daya tarik, bahkan jika orang ketiga hadir.

Perceraian harus dilihat sebagai pintu darurat yang hanya dibuka jika memang sudah tidak ada pilihan lain. Dan membuka pintu itu lebih memberikan harapan hidup, ke­timbang berada di dalamnya. Bahwa ‘evakuasi’ harus dilakukan. Tidak ada cara lain.

 

Kedua, buku ini disusun sebagai upaya menguatkan sesama perempuan, baik secara hati, juga kemampuan untuk berpikir logis. Jika saat ini ada di antara pembaca yang ber­hadapan dengan situasi hampir/akan/sudah bercerai, demi anak-anak yang ada, demi masa depan yang semoga tetap baik bahkan makin baik, emosi harus disingkirkan. Tidak boleh meng­­gelapkan mata, hingga pikiran tetap jernih menyusun langkah demi langkah.

Dan alasan ketiga… adakah yang lebih baik selain belajar dari pengalaman orang lain?

Seorang istri, salah satu pembaca saya, pernah ‘disuruh’  suaminya hadir di acara temu penulis di salah satu kota di Jawa Tengah. Bunda ini yang seperti suaminya sedang menuntut ilmu, saya lupa S2 atau S3 jurusan Teknik Kimia (sekali lagi jika tidak salah), datang bersama anak-anak dan kerabatnya.

Saya menghargai kejujurannya saat mengatakan,

 

“Maaf Mbak Asma… tetapi saya tidak merasa perlu untuk membaca cerita-cerita dari buku dengan tema pengalaman sejati yang Mbak Asma susun. Saya merasa tidak ada man-faatnya. Dan waktu lebih baik digunakan untuk membaca buku-buku yang terkait studi saya.”

Well, tidak banyak orang yang berani mengatakan langsung hal serupa di hadapan sang penulis, kan?:)

Mungkin karena itu saya tersenyum lebih lebar me-respons kejujurannya. Saya sampaikan bahwa satu dari begitu banyak hal yang saya syukuri adalah, ajakan menulis pengalaman nyata ini (apa saja) mendapat tanggapan pem-baca, khususnya sesama perempuan juga generasi muda. Bahwa membaca tulisan yang terkadang sangat apa adanya, tanpa dibalut keterampilan menulis, telah sering membuat saya tercenung, terketuk, haru… bersyukur dan bahkan menangis.

 

Tulisan-tulisan itu telah menjadi media belajar bagi saya, dan semoga bagi pembaca lain. Sebab pengalaman setiap orang unik dan berbeda. Bagaimana seseorang merespons situasi dan kondisi yang dihadapinya: permasalahan rumah tangga, sakit, kehilangan dan lain-lain, selalu menyisakan ruang refleksi dan belajar bagi siapa saja yang membacanya.

Harapan saya, proyek-proyek menulis kisah nyata ini, meski mengambil masa yang lama karena tidak cepat memenuhi quota bagi tulisan sejenis, atau belum mencapai standar sebagai kado yang pantas, bagi pembaca, semoga terus berjalan.

 

Dan kita selalu bisa belajar. Tidak hanya dari kesuksesan seseorang, melainkan juga dari perjuangan hidupnya, kegagalan, bahkan kesalahannya dalam mengambil keputusan.

Terima kasih kepada semua kontributor yang telah menyumbang tulisan dalam tema perceraian ini. Sebagian besar adalah alumni AsmaNadia Writing Workshop, baik di Jakarta maupun di beberapa kota dan negara lain. Saya bahagia mereka meneruskan apa yang semestinya dilakukan oleh setiap alumni workshop: terus menulis dan mengasah diri. Mengirimkan karya ke penerbit atau media, sebagai uji coba kemampuan, selain banyak membaca.

 

Ah ya, tidak semua kisah ditulis langsung oleh yang meng­alami, ada juga yang dituliskan orang lain. Banyak juga yang menggunakan nama pena, agar hikmah atau apa pun yang bisa diambil dari tulisan mereka, bisa sampai ke kalangan lebih luas tanpa membuka aib keluarga dan keping masa lalu.

Terakhir, perempuan Indonesa, teruslah menulis. Apa saja. Mengabadikan pikiran, hati, dan tahapan perjalanan hidup. Juga membuat refleksi yang mungkin bisa memberi cara pandang baru bagi persoalan yang saat ini dihadapi. Bahkan jika sekadar diary, catatan hidup untuk dikenang anak, cucu, maupun sahabat agar mereka bisa belajar tidak hanya kemudahan tapi juga dari tantangan, dan kesulitan hidup yang telah dilalui orang tua atau kakek nenek, dan orang-orang yang mereka cintai.

 



Mudah-mudahan Jangan Bercerai Bunda... di atas mudah difahami serta bermanfaat bagi Anda :)
---
SUMBER artikel Jangan Bercerai Bunda... dari: facebook/notes/asma-nadia/jangan-bercerai-bunda/10151993061437579
Title: Jangan Bercerai Bunda...; Written by admin; Rating: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar